Senin, 07 Mei 2012

TUMPEK PENGATAG SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DI BALI


TUMPEK PENGATAG SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DI BALI




Ni Kadek Ria Nurwahyuni
FKIP UNMAS Denpasar




ABSTRACT

This paper describes the " Tumpek Pengatag  as Local Wisdom in Bali". Local Wisdom is the knowledge of the community (local) customary Several accumulated overgenerations, the who live in Certain environments. Tumpek Pengatag regarded as one of the local wisdom as it contains important value in maintaining the environment, especially plants. Tumpek pengatag according to the Hindus is a spontaneous outburst of the mostcareful in describing the sense of love and affection for plants. Plants are considered important as a source of life. In this paper, besides describing the value contained in theceremony Tumpek Pengatag, also explain the link between Tumpek pengatag with aspects of ecology, social and economic community. Which of these three relationships were purpose in the maintenance environment, especially plants.

Key Word : local wisdom, describing, relationship





PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan salah satunya pulau Bali. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Bali merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal.
Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Berbagai macam budaya masyarakat Bali pendahulu kita. Yang mana amat banyak kita temukan suatu ilmu-ilmu yang amat berharga dari kebudayaan para tetua kita di Bali. Pada masa sekarang ini, tentunya kita sebagai generasi penerus memanfaatkan kembali ilmu-ilmu tetua terdahulu, untuk menjaga kelangsungan bumi ini. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai salah satu budaya ataupun dapat disebut dengan kearifan lokal Bali. Salah satunya mengambil Upacara Tumpek Pengatag, salah satu upacara agama Hindu di Bali serta merupakan suatu kearifan lokal di Bali sebagai topik yang akan dibahas. Yang mana mengangkat beberapa permasalahan, antara lain masih banyak masyarakat yang belum mengetahui upacara Tumpek Pengatag beserta kaitannya dengan aspek ekologi, sosial masyarakat dan ekonomi. Dengan ditulisnya makalah ini diharapkan agar masyarakat menjadi lebih paham mengenai nilai-nilai dari Tumpek Pengatag tersebut.


PEMBAHASAN

Gambaran umum Tumpek Pengatag
Pada setiap Saniscara Kliwon Wariga, umat Hindu selalu menghaturkan sesajen kehadapan Sanghyang Sangkara sebagai dewanya segala tumbuh-tumbuhan. Pada hari ini ditetapkan dan diberi nama Tumpek Pengarah, Tumpek Penguduh/uduh, Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh oleh umat Hindu merupakan cetusan hatinya yang paling dalam menggambarkan rasa kasih dan sayangnya kepada tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari bahwa dalam menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu membutuhkan orang lain sebagai teman untuk mengarungi hidupnya sampai pada tujuannya yang terakhir, maka itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Karena manusia selalu membutuhkan orang lain sebagai teman maka muncullah konsep dalam agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana yang secara leksikal berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya. manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.
. Kemudian hubungan manusia dengan lingkungan timbul pemikiran umat Hindu untuk ditetapkan sebagai hari raya yang disebut Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh. Pada Tumpek Penguduh yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa sebagai Bhatara Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkembang biak, berdaun, berbunga, berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya. Melakukan pemujaan yang ditujukan kepada Bhatara Sangkara maka yang dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan yang paling erat kaitannya dengan manusia dipakai dalam kebutuhan hidup sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon wani, pohon durian, pohon jambu dan sebagainya. Pada hari ini mengingatkan kepada manusia bahwa hari raya Galungan sudah datang 25 hari lagi, maka segala persiapan untuk menyambut dan merayakan hari raya Galungan telah dimulai. Tujuan umat Hindu menghaturkan upacara pada hari ini adalah untuk menghaturkan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Sangkara, bahwa beliau telah menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon agar tumbuh-tumbuhan itu dapat berkembang biak dengan baik dan berguna bagi manusia. Sekaligus juga memohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah baik dan banyak sehingga ketika menjelang Galungan agar dapat dipergunakan sebagai sarana upacara persembahan di hari raya Galungan. Pada umumnya upacara ini dilakukan di pekarangan/perkebunan, tegalan yang banyak dipelihara pepohonan yang berguna bagi kehidupan manusia.

Hubungan Tumpek Pengatag terhadap nilai Ekologi
Perayaan hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur atas harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini. Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon.
Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa  Ibu Pertiwi kepada umat manusia.  Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para leluhur atau para tetua Bali di masa lalu,  yang  telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.
Kesadaran yang tumbuh dalam pengertian makrokosmik, dalam konteks semesta raya, tidak hanya semata Bali. Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon.


Hubungan Tumpek Pengatag terhadap nilai Sosial Masyarakat
Kemudian kalau kita pandang dari segi sosial masyarakat bahwa Tumpek Pengatag itu merupakan media pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik sesama manusia maupun terhadap lingkungan. Kenapa dalam hal ini yang dipakai obyek penghormatannya adalah tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah banyak berjasa terhadap manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia untuk memetik daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia rela. Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasihan dan rasa peduli kepada yang lainnya walaupun dia tidak sekelompok speciesnya namun dia mampu memberi makan dan menyediakan kebutuhan binatang dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti sayur, buah, kayu, rasa aman tempat berteduh dan sebagainya.
Tetapi walaupun demikian tumbuh-tumbuhan tidak pernah memiliki rasa benci, memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia, jika binatang dan manusia ingat memelihara dan melestarikan dirinya. Tetapi jika manusia hanya meminta dan menyakiti tumbuh-tumbuhan dan tidak pernah menanam, memelihara, melestarikan serta tidak pernah peduli padanya maka tumbuh-tumbuhan pun bisa mencelakakan manusia sehingga terjadi bencana seperti : banjir, tanah longsor, gempa, angin ribut yang mana semuanya akan membuat manusia dan hewan menjadi celaka dan sengsara.
Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti contoh setiap ada kayu besar di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang disakralkan oleh umat Hindu untuk dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan secara rohani dengan jalan setiap hari menghaturkan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu bahwa disana diyakini ada sesuatu yang bisa membuat kita celaka kalau kita lewat seperti : jin, tonya, banaspatiraja dan sebagainya agar manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya sehingga menjadi jagadhita dalam hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu bahwa pohon-pohon yang besar dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air dimana air laut dipanaskan oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan berubah menjadi embun, embun didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan ditahan oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut.
Maka melalui hari raya Tumpek Uduh ini manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Kita sebagai manusia yang disebut insan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki pikiran, janganlah kita selalu saling memfitnah, menghina dan saling menyalahkan orang lain, dan kita sendiri harus sadar bahwa yang lewat itu adalah dipakai guru yang paling berharga untuk belajar menuju yang lebih baik dan sejahtera. Tumpek Uduh dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan adalah pedoman bagi manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta saling menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.

Hubungan Tumpek pengatag terhadap nilai Ekonomi
Jika dikaitkan terhada nilai ekonomi, Perayaan Tumpek Pengatag dijadikan perenungan intelektual masa depan membangkitkan sektor pertanian. Walaupun lahan di perkotaan sudah kebanyakan alih fungi, perlu adanya tindakan nyata melalui kreativitas dan motivasi membangun pertanian perkotaan, salah satunya adalah memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas bernilai ekonomi tinggi. Dengan melestarikan budaya Upacara Tumpek Pengatag, masyarakat menjadi lebih bisa melestarikan lingkungan dengan menanam tumbuh-tumbuhan pada lahan kecilpun. Dengan demikian secara tidak langsung masyarakat akan memperoleh hasil dari tumbuhan yang ditanam, baik buah, kayu, maupun daun. Yang mana hasil dari tumbuhan terebut juga dapat memberikan nilai yang tiggi apabila dijual di pasaran. Selain itu, Upacara Tumpek Pengatag juga memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, masyarakat bisa saja menjual banten yang diperlukan untuk berlangsungnya Upacara Tumpek Pengatag. Mereka bisa menjualnya pada keluarga-keluarga yang mungkin mempunyai kesibukan sehingga tidak ada waktu untuk membuat banten. Dengan demikian akan adanya timbal balik antara masyarakat. Yang menjual mendapat uang, sedangkan yang membeli menjadi memperoleh banten untuk Upacara Tumpek Pengatag.



PENUTUP
Simpulan dan saran
Dari uraian pada di atas, dapat disimpulkan bahwa Upacara Tumpek Pengatag merupakan suatu kearifan lokal Bali yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan khususnya dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan. Selain itu Upacara Tumpek Pengatag juga berhubungan erat terhadap nilai Ekologi, Sosial masyarakat serta nilai Ekonomi. Pada makalah ini, penulis mengharapkan agar generasi penerus atau para pemuda di Bali serta masyarakat Indonesia pada umumnya mampu melestarikan kearifan lokal pada tiap daerahnya agar tidak hilang tertelan jaman. Yang mana diharapkan kearifan lokal tersebut dimanfaatkan dengan sebaiknya untuk menunjang kehidupan manusia ke depannya.


Daftar Pustaka
Hindhu Darma (2010). Tri Hita Karana dalam Agama Hindu. Diakses dari http://www.babadbali.com/canangsari/trihitakarana.htm

Putri (15 Sept 2009). TUMPEK BUBUH / TUMPEK WARIGA. Diakses dari http://www.denpasarkota.go.id/main.php?act=edi&xid=54,

Santi Diwyarthi (11 Juni 2011). Tumpek Wariga / Tumpek Bubuh, Salah Satu Bentuk Local Genius Wisdom Lain Lagi. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/tumpek-wariga-tumpek-bubuh-salah-satu-bentuk-local-genius-wisdom-lain-lagi/,
Suniarta.2010. “Tumpek Pengatag” Menyambut Galungan”. Diakses dari http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=800&Itemid=96,

1 komentar: