TUMPEK PENGATAG SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DI BALI
Ni Kadek Ria Nurwahyuni
FKIP
UNMAS Denpasar
ABSTRACT
This paper describes
the " Tumpek Pengatag
as Local Wisdom in Bali". Local Wisdom is
the knowledge of the community (local) customary Several accumulated
overgenerations, the who live in Certain environments. Tumpek Pengatag regarded as
one of the local wisdom as it contains important
value in maintaining the environment, especially plants. Tumpek pengatag according to the
Hindus is a spontaneous outburst of the mostcareful in describing the
sense of love and affection for plants. Plants are considered important as
a source of life. In this paper, besides describing the value contained in
theceremony Tumpek Pengatag, also
explain the link between Tumpek pengatag
with aspects of ecology, social and economic community. Which of these three
relationships were purpose in the maintenance environment,
especially plants.
Key
Word : local
wisdom, describing, relationship
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam
suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan salah
satunya pulau Bali. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Bali merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita
pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan
yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas
dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap
budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari
kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau
kebudayaan lokal.
Kebudayaan
merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas
dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau
daerah. Berbagai macam budaya masyarakat Bali
pendahulu kita. Yang mana amat banyak kita temukan suatu ilmu-ilmu yang amat
berharga dari kebudayaan para tetua kita di Bali. Pada masa sekarang ini,
tentunya kita sebagai generasi penerus memanfaatkan kembali ilmu-ilmu tetua
terdahulu, untuk menjaga kelangsungan bumi
ini. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka
menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap
individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai salah
satu budaya ataupun dapat disebut dengan kearifan lokal Bali. Salah satunya mengambil Upacara Tumpek Pengatag,
salah satu upacara agama Hindu di Bali serta merupakan suatu kearifan lokal di
Bali sebagai topik yang akan dibahas. Yang mana
mengangkat beberapa permasalahan, antara lain masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui upacara Tumpek Pengatag
beserta kaitannya dengan aspek ekologi, sosial masyarakat dan ekonomi. Dengan
ditulisnya makalah ini diharapkan agar masyarakat menjadi lebih paham mengenai
nilai-nilai dari Tumpek Pengatag
tersebut.
PEMBAHASAN
Gambaran umum
Tumpek Pengatag
Pada setiap
Saniscara Kliwon Wariga, umat Hindu selalu menghaturkan sesajen kehadapan
Sanghyang Sangkara sebagai dewanya segala tumbuh-tumbuhan. Pada hari ini ditetapkan
dan diberi nama Tumpek Pengarah, Tumpek Penguduh/uduh, Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh oleh umat Hindu merupakan cetusan
hatinya yang paling dalam menggambarkan rasa kasih dan sayangnya kepada
tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari bahwa dalam menjalani hidupnya di
dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu membutuhkan orang
lain sebagai teman untuk mengarungi hidupnya sampai pada tujuannya yang
terakhir, maka itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Karena manusia selalu membutuhkan orang lain
sebagai teman maka muncullah konsep dalam agama Hindu yang disebut dengan Tri
Hita Karana yang secara leksikal berarti tiga
penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada
hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan
itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya.
manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.
. Kemudian hubungan manusia dengan
lingkungan timbul pemikiran umat Hindu untuk ditetapkan sebagai hari raya yang
disebut Tumpek Pengatag atau Tumpek
Uduh. Pada Tumpek Penguduh yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa sebagai Bhatara
Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan
berkembang biak, berdaun, berbunga, berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya.
Melakukan pemujaan yang ditujukan kepada Bhatara Sangkara maka yang dipakai
objek adalah tumbuh-tumbuhan yang paling erat kaitannya dengan manusia dipakai
dalam kebutuhan hidup sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon
wani, pohon durian, pohon jambu dan sebagainya. Pada hari ini mengingatkan
kepada manusia bahwa hari raya Galungan sudah datang 25 hari lagi, maka segala
persiapan untuk menyambut dan merayakan hari raya Galungan telah dimulai.
Tujuan umat Hindu menghaturkan upacara pada hari ini adalah untuk menghaturkan
rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai
Bhatara Sangkara, bahwa beliau telah menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon
agar tumbuh-tumbuhan itu dapat berkembang biak dengan baik dan berguna bagi
manusia. Sekaligus juga memohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah baik dan banyak
sehingga ketika menjelang Galungan agar dapat dipergunakan sebagai sarana
upacara persembahan di hari raya Galungan. Pada umumnya upacara ini dilakukan
di pekarangan/perkebunan, tegalan yang banyak dipelihara pepohonan yang berguna
bagi kehidupan manusia.
Hubungan Tumpek
Pengatag terhadap nilai Ekologi
Perayaan hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat
manusia bahwa kita wajib bersyukur atas harmoni yang membantu kita tinggal
dalam alam kehidupan kini. Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya,
khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia
mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup
dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam
itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan
dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu
pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag
tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan
kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon.
Tumpek Pengatag merupakan
momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada
umat manusia. Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar
dari pengalaman para leluhur atau para tetua Bali di masa lalu,
yang telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang
menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.
Kesadaran yang
tumbuh dalam pengertian makrokosmik, dalam konteks semesta raya, tidak hanya
semata Bali. Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga
kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan
lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum
manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu
mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai
bulan menanam pohon.
Hubungan Tumpek
Pengatag terhadap nilai Sosial Masyarakat
Kemudian kalau kita pandang dari segi sosial masyarakat
bahwa Tumpek Pengatag itu merupakan
media pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling
menyayangi. Baik sesama manusia maupun
terhadap lingkungan. Kenapa dalam hal ini yang dipakai obyek penghormatannya
adalah tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah banyak berjasa terhadap
manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia untuk memetik
daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia rela. Tumbuh-tumbuhan
memiliki rasa kasihan dan rasa peduli kepada yang lainnya walaupun dia tidak
sekelompok speciesnya namun dia mampu memberi makan dan menyediakan kebutuhan
binatang dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti sayur, buah, kayu,
rasa aman tempat berteduh dan sebagainya.
Tetapi walaupun demikian tumbuh-tumbuhan tidak pernah
memiliki rasa benci, memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia, jika
binatang dan manusia ingat memelihara dan melestarikan dirinya. Tetapi jika
manusia hanya meminta dan menyakiti tumbuh-tumbuhan dan tidak pernah menanam,
memelihara, melestarikan serta tidak pernah peduli padanya maka tumbuh-tumbuhan
pun bisa mencelakakan
manusia sehingga terjadi bencana seperti : banjir, tanah longsor, gempa, angin
ribut yang mana semuanya akan membuat manusia dan hewan menjadi celaka dan
sengsara.
Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti
contoh setiap ada kayu besar di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang
disakralkan oleh umat Hindu untuk dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan
secara rohani dengan jalan setiap hari menghaturkan sesajen menurut kepercayaan
agama Hindu bahwa disana diyakini ada sesuatu yang bisa membuat kita celaka
kalau kita lewat seperti : jin, tonya, banaspatiraja dan sebagainya agar
manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya sehingga menjadi jagadhita dalam
hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu bahwa pohon-pohon yang besar
dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air dimana air laut dipanaskan
oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan berubah menjadi embun, embun
didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan ditahan oleh akar-akar pohon
kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju sumbernya (muaranya) lagi
yaitu laut.
Maka melalui hari raya Tumpek Uduh ini
manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya mulai belajar untuk bisa
menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali.
Kita sebagai manusia yang disebut insan Tuhan yang paling sempurna yang
memiliki pikiran, janganlah kita selalu saling memfitnah, menghina dan saling
menyalahkan orang lain, dan kita sendiri harus sadar bahwa yang lewat itu
adalah dipakai guru yang paling berharga untuk belajar menuju yang lebih baik dan
sejahtera. Tumpek Uduh dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan adalah pedoman bagi
manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya agar tumbuh dalam pikirannya
untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling menghormati, saling
menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta saling menolong
diantara semua insan ciptaan Tuhan.
Hubungan Tumpek
pengatag terhadap nilai Ekonomi
Jika dikaitkan
terhada nilai ekonomi, Perayaan Tumpek
Pengatag dijadikan perenungan intelektual masa depan membangkitkan sektor
pertanian. Walaupun lahan di perkotaan sudah kebanyakan alih fungi, perlu
adanya tindakan nyata melalui kreativitas dan motivasi membangun pertanian
perkotaan, salah satunya adalah memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas
bernilai ekonomi tinggi. Dengan melestarikan budaya Upacara Tumpek Pengatag, masyarakat
menjadi lebih bisa melestarikan lingkungan dengan menanam tumbuh-tumbuhan pada
lahan kecilpun. Dengan demikian secara tidak langsung masyarakat akan
memperoleh hasil dari tumbuhan yang ditanam, baik buah, kayu, maupun daun. Yang
mana hasil dari
tumbuhan
terebut juga dapat memberikan nilai yang tiggi apabila dijual di pasaran. Selain itu,
Upacara Tumpek Pengatag juga
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, masyarakat bisa saja menjual banten
yang diperlukan untuk berlangsungnya Upacara Tumpek Pengatag. Mereka bisa menjualnya pada keluarga-keluarga yang
mungkin mempunyai kesibukan sehingga tidak ada waktu untuk membuat banten. Dengan demikian akan
adanya timbal
balik
antara masyarakat. Yang menjual mendapat uang, sedangkan yang membeli menjadi
memperoleh banten untuk Upacara Tumpek
Pengatag.
PENUTUP
Simpulan
dan saran
Dari uraian pada di atas, dapat
disimpulkan bahwa Upacara Tumpek Pengatag
merupakan suatu kearifan lokal Bali yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan
khususnya dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan. Selain itu Upacara Tumpek Pengatag juga berhubungan erat
terhadap nilai Ekologi, Sosial masyarakat serta nilai Ekonomi. Pada makalah
ini, penulis mengharapkan agar generasi penerus atau para pemuda di Bali serta
masyarakat Indonesia pada umumnya mampu melestarikan kearifan lokal pada tiap
daerahnya agar tidak hilang tertelan jaman. Yang mana diharapkan kearifan lokal
tersebut dimanfaatkan dengan sebaiknya untuk menunjang kehidupan manusia ke
depannya.
Daftar
Pustaka
Hindhu Darma (2010). Tri Hita Karana dalam Agama
Hindu. Diakses dari http://www.babadbali.com/canangsari/trihitakarana.htm
Putri (15 Sept 2009). TUMPEK BUBUH / TUMPEK WARIGA. Diakses dari http://www.denpasarkota.go.id/main.php?act=edi&xid=54,
Santi Diwyarthi (11 Juni 2011). Tumpek Wariga / Tumpek Bubuh, Salah Satu Bentuk Local Genius Wisdom
Lain Lagi. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/tumpek-wariga-tumpek-bubuh-salah-satu-bentuk-local-genius-wisdom-lain-lagi/,
Suniarta.2010. “Tumpek Pengatag” Menyambut Galungan”. Diakses dari http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=800&Itemid=96,
numpang minta jadi referensi ya kak.. matur suksme...
BalasHapus